Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan kasus gagal ginjal akut pada hari ini mencapai 245 anak di 26 Provinsi. Hal itu disampaikan Budi Gunadi Sadikin dalam pernyataan pers di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10/2022). “Per hari ini, kasus totalnya 245 anak di 26 provinsi. 8 provinsi yang berkontribusi 80 persen kasus adalah DKI Jakarta, Jabar, Aceh, Jatim, Sumbar, Bali, Banten dan Sumut,” kata Menkes.
Tingkat kematian atau fatality rate kasus gagal ginjal akut pada anak kata Menkes cukup tinggi. Dari jumlah kasus yang ada tersebut sebanyak 57,6 persen meninggal dunia. “Fatality rate persentasenya cukup tinggi yakni 141 atau 57,6 persen,” katanya.
Pihaknya kata Menkes telah melaporkan perkembangan kasus tersebut kepada Presiden Jokowi. Arahan Presiden yakni memastikan masyarakat terlindungi dari obat obatan yang menyebabkan gagal ginjal akut tersebut. “Karena hari minggu kemarin bapak presiden khusus menelpon kami untuk memastikan bahwa masyarakat dilindungi dari obat obatan yang ada. Jadi prioritas bapak presiden adalah memastikan seluruh masyarakat terlindungi dari obat obatan ini,” katanya.
Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti tingginya angka kematian dalam kasus gagal ginjal akut misterius pada anak. Dia pun meminta Pemerintah segera menetapkan kasus gagal ginjal akut ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) apabila sudah memenuhi kriteria penetapan. “Kasus gagal ginjal akut pada anak sudah cukup mengkhawatirkan. Kalau dari data data yang ada sudah memenuhi syarat, segera tetapkan penyakit ini sebagai kejadian luar biasa atau KLB,” kata Puan dalam keterangannya, Sabtu (22/10/2022).
Kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia melonjak menjadi lebih dari 200 kasus dengan angka kematian hampir 50 persen dari total kasus dalam sepekan setelah pertama kali dilaporkan. Dari data terbaru, sudah terdapat 206 kasus gagal ginjal akut di mana 99 anak di antaranya meninggal dunia. Menurut Puan, case fatality rate yang cukup tinggi perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk menetapkan KLB.
“Ini bagaikan puncak gunung es. Kasus yang diketahui ratusan tapi korbannya bisa jadi jauh lebih banyak. Situasi ini sangat genting dan mengancam keselamatan anak anak,” ujar Puan. Puan menyebut, status KLB akan berpengaruh pada langkah penanganan dan pengobatan dalam mengatasi gagal ginjal akut, termasuk soal pembiayaan dan berbagai kemudahan lainnya. Dengan meningkatnya status menjadi KLB, semua pemangku kebijakan akan memiliki kepedulian dalam penanganan penyakit ini.
“Dengan status KLB, setiap anak yang didiagnosa gagal ginjal akut, baik memiliki BPJS Kesehatan maupun tidak, harus ditanggung perawatan kesehatan dan pengobatannya hingga tuntas,” ungkap Puan. Tanpa status KLB, dikhawatirkan banyak pasien kesulitan mengakses fasilitas pelayanan kesehatan lantaran tidak ada bantuan dana. Puan menilai, penetapan status KLB juga terkait dengan kesiapan rumah sakit rujukan bagi anak yang menderita penyakit ini.
“Kita harus memperhatikan bagaimana fasilitas kesehatan daerah tidak sama di setiap wilayah. Bagi daerah yang fasilitas kesehatannya belum memadai, diperlukan penanganan lanjutan ke tempat lain yang dapat menangani penyakit gagal ginjal akut pada anak,” sebutnya. Puan pun mendorong Pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk menangani kasus ini agar dapat membantu masyarakat ekonomi rendah yang anaknya menderita tanda tanda gagal ginjal akut. Apalagi menurut sejumlah pakar, penanganan penyakit gagal ginjal akut tidak bisa dilakukan dalam level Puskesmas.
Hal ini lantaran dibutuhkan ketersediaan alat hemodialisa atau peritoneal dialysis yang membutuhkan seorang dokter bedah anak. “Sementara tren kasus terus bertambah, dan angka kematian dalam tiga periode meningkat. Jadi harus ada kebijakan khusus dari Pemerintah dalam mengatasi maraknya kasus gagal ginjal akut pada anak,” tutur Puan. Mantan Menko PMK itu pun menilai, penetapan penyakit gagal ginjal akut pada anak sebagai KLB akan memudahkan koordinasi stakeholder terkait. Baik itu lintas daerah dan provinsi, maupun secara nasional.
“Tentunya juga akan menyempurnakan sistem penanganan kasus dan mengoptimalkan SDM kesehatan, serta penanggulangan fenomena penyakit ini,” ujarnya. Hingga kini, Kementerian Kesehatan belum dapat memastikan penyebab pasti gangguan ginjal akut yang mendera lebih dari 200 anak Indonesia. Angka kasus juga berpotensi kian bertambah mengingat ada kemungkinan orang tua yang belum atau kesulitan akses dalam memeriksakan anaknya. “Segera diselidiki penyebab gagal ginjal anak anak agar penanganannya terarah. Kepastian dari penyebab penyakit ini penting untuk mengurangi kegelisahan publik,” tegas Puan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia telah melakukan pengujian dan sampling terhadap jenis obat sirop anak yang diduga mengandung cemaran zat pemicu kasus gagal ginjal akut misterius di RI. Pemerintah sebelumnya sudah menginstruksikan pelarangan sementara penjualan dan penggunaan obat anak dalam bentuk cair. Adapun zat yang diduga menjadi pemicu penyakit gagal ginjal akut anak adalah Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang merupakan bahan kimia pelarut. Bahan ini digunakan sebagai pengganti propilen glikol yang digunakan pabrik farmasi sebagai pelarut dalam obat obatan umum seperti paracetamol. Dari pengumuman yang disampaikan BPOM, ada 5 obat sirop anak yang tercemar etilen glikol (EG) sehingga harus ditarik peredarannya karena kandungan EG nya melebihi ambang batas aman. Puan pun meminta pengawasan terhadap produksi obat semakin diperketat.
“Apabila ada kelalaian dari pihak produsen obat, harus diusut tuntas sesuai dengan aturan yang berlaku,” kata Puan Lebih lanjut, Puan meminta Pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait lemahnya deteksi dini terhadap gangguan ginjal akut pada anak. Hal ini lantaran kasus gagal ginjal akut akibat obat sirop yang mengandung bahan kimia dietilen glikol sudah pernah ditemukan di sejumlah negara sejak lama. “Dengan adanya kasus gagal ginjal akut pada anak, Indonesia harus melakukan transformasi sektor kesehatan,” ucap Puan.
“Adanya kasus kasus yang ditemukan di negara lain semestinya menjadi pemicu untuk dilakukannya deteksi dini di Indonesia. Bukan justru menunggu jatuhnya korban jiwa, baru bergerak melakukan penelitian,” lanjutnya. Puan juga mendorong pemerintah daerah untuk bergerak cepat melakukan deteksi dini dan siaga dalam melayani pasien anak dengan gagal ginjal akut. Apalagi, sejumlah daerah belum memiliki layanan cuci darah untuk anak atau hemodialisa yang terbatas. Seluruh pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, diminta melengkapi seluruh layanan kesehatan dengan fasilitas dan alat kesehatan yang memadai untuk penanganan kasus gagal ginjal akut anak.
“Buktikan bahwa pemerintah pusat dan daerah betul betul peduli pada persoalan kesehatan masyarakat dan kualitas hidup rakyat,” tutup Puan.